Pulau Nias adalah pulau terbesar di pantai barat Sumatera merupakan bagian dari Propinsi Sumatera Utara, walau saat ini sudah diusulkan untuk pemekaran menjadi Propinsi Kepulauan Nias. Jarak pulau ini menuju daerah Sumatera terdekat yaitu Kota Sibolga sejauh 85 mil melewati laut. Pulau Nias adalah sebuah pulau yang berada di gugusan Pulau Sumatera bagian barat. Dalam bahasa Nias, pulau ini disebut dengan Tanö Niha.
Secara umum daerah di Pulau Nias berbukit-bukit dengan kemiringan lereng rata-rata 8 – 25 derajat. Dari utara Nias cenderung landai, kemudian dari tengah hingga ke ujung selatan berbukit-bukit dan terjal. Sementara struktur geologi Pulau Nias cenderung sesar dan lipatan sejajar memanjang dari utara ke selatan pulau. Rata-rata ketinggian pulau Nias sekitar 500 m dengan titik tertinggi sebesar 843 meter di Lolomatua (Nias Selatan). Konon puncak tertinggi ini bisa melihat kelip lampu dari Sibolga (daratan Sumatera).
Pulau Nias dikelilingi oleh berbagai pulau dengan ukuran besar hingga kecil. Sehingga sering disebut Kepulauan Nias yang menaungi sekitar 132 pulau yang tersebar disekitarnya. Pulau-pulau tersebut antara lain Pulau Hinako dan sekitarnya (Nias Barat), wilayah Afulu, Lahewa, Lahewa Timur, dan Sawo (Nias Utara), pulau sekitar Onolimbu (Nias), pulau kecil sekitar Amandraya (Nias Selatan), termaksud gugusan Pulau-Pulau Tello (Nias Selatan). Pulau-pulau tersebut ada yang ditempati juga dibiarkan tidak berpenghuni.
Sebagaian beberapa tempat juga punya topografi cenderung landai, seperti di Gunungsitoli Idanoi, Bawolato, sebagian Lotu, Lahewa Timur, Lahewa, dan Sirombu. Sementara terdapat juga area rawa dan gambut ditumbuhi beberapa jenis tanaman famili palem dan mangrove, seperti di desa Afia dan Teluk Belukar (Kota Gunungsitoli); Sawo, Lahewa, dan Teluk Siabang (Nias Utara).
Baca juga:
Luaha Ndroi: Air Terjun Pedalaman yang Berbenah
Sawakete di Nias Utara: Mutiara Dalam Kubangan
Kondisi iklim di Pulau Nias menunjukkan iklim tropis dengan curah hujan cukup tinggi dan bervariasi. Rata-rata curah hujan 2000-2600 mm/ tahun, sehingga beberapa daerah rawan longsor, terutama jalan yang melewati sepanjang gunung dan bukit di arah tengah Nias. Sementara kelembapan sebesar 90% dengan temperatur rata-rata 20,5 – 30,5 derajat Calcius dan penyinaran sinar matahari 42%.
Luas pulau ini sebesar 5.625 Km2 dengan memanjang dari Utara ke Selatan. Penduduknya sekitar 1 juta jiwa yang mendiami pulau ini. Sementara itu Warga Nias lainnya juga bermukim di tempat-tempat di sekitar Pulau Sumatera antara lain Sibolga, Medan, Padang, Pidie dan kota-kota lainnya. Diperkirakan terdapat 500 ribu jiwa dengan catatan sebagian ber KTP di daerah tersebut.
Pulau Nias memiliki banyak penduduk dan etnis tersebar di Utara pulau hingga ke Selatan dan pulau-pulau sekitar. Umumnya penghuni pulau ini adalah etnis Nias yang tersebar di seluruh daratan pulau, termaksud sekitar Pulau-Pulau Batu dalam bahasa Nias, etnis Nias di sebut Ono Niha. Selain itu terdapat etnis di Nusantara dan bangsa lain yang hidup beranak pinak dari generasi ke generasi seperti Aceh, Batak, Minang, Bugis, Jawa, hingga Cina dan Timur Tengah.
Para pendatang dari pulau Nias menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah dan perkembangan pulau ini dari tahun ke tahun. Bahkan beberapa suku-suku pesisir Sumatera menjadi bagian sejarah di Pulau Nias dan mendapat hak sama dengan penduduk Nias setelah mengadakan fondrako (ketetapan hukum adat tertinggi di Nias). Seperti suku Aceh keturunan Polem membentuk sebuah banua di Siwulu (sekarang jadi Desa Mudik) dan Suku Caniago dari Minang membentuk banua di hilir sungai Nou (sekarang jadi Kelurahan Ilir). Mereka memperkenankan budaya baru, salah satunya seni silat ale. Saat ini keturunan kedua suku tersebut bermukim di Gunungsitoli.
Bahasa daerah di pulau ini disebut Li Niha. Walau begitu Bahasa Indonesia digunakan dalam aktifitas harian seperti di aktifitas publik. Untuk daerah khususnya Gunungsitoli warganya lebih fasih menggunakan bahasa Indonesia, sementara di daerah seperti pedalaman Nias umumnya lebih fasih menggunakan bahasa daerah. Walau begitu terkadang khususnya di Gunungsitoli mudah mendengar bahasa daerah lainnya seperti bahasa Minang, Aceh, Jawa, Batak, dan gehai ( sebuatan orang China di Nias). Umumnya mereka berkomunikasi bahasa tersebut sebatas antar sesama komunitas mereka.
Baca juga:
Wisata Bakau Teluk Ba'a: Kawasan Andalan Mangrove di Nias Utara
Abrasi Pantai di Gunungsitoli: Di Lain Sisi
Kepercayaan di Nias memiliki kepercayaan tradisonal yang disebut fanömba adu atau dalam bahasa Indonesia disebut pemuja patung. Nama lain dari fanömba adu adalah pelebegu, merupakan pemberian nama dari para pendatang. Ajaran ini memiliki kepercayaan kepada dewa, kekuatan gaib, roh halus, dan arwah nenek moyang. Dewa tertinggi menurut kepercayaan fanömba adu adalah Lowalangi, yang saat ini maknanya telah bergeser dengan sebutan Tuhan. Hal tersebut agar memudahkan ajaran agama yang dibawa oleh misionaris diterima baik di Nias.
Sekitar tahun 1916, terjadi peristiwa Fangesa Sebua atau Pertobatan Massal. Hal ini ditandai dengan masuknya berbondong-bondong Masyarakat Nias untuk dibaptis. Mayoritas penduduk Nias akhirnya memeluk agama Kristen Protestan. Sementara penyembah fanömba adu menjadi minoritas hingga hampir tidak ada lagi. Terlebih semenjak peristiwa tahun 1965 yang memaksa warga negera memilih salah satu dari ke-5 agama yang ada (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha). Di Pulau Nias, terdapat pemeluk agama lainnya Katolik, Islam, dan Budha. Walau begitu, peninggalan tersebut masih ada termaksud patung mitologi di Nias, salah satunya Lasara (hewan berwajah naga berbadan ular).
Baca juga:
Mayoritas penduduk bermata pencaharian petani, antara lain pekerja di sawah, kebun atau ladang. Pertanian yang umumnya ditanam adalah tanaman padi, karet, pinang, kakao, pisang, dan kelapa. Selain itu menanam hortikultur lainnya walau masih skala kecil. Pengolahan bahan-bahan alam tersebut masih belum ada di Pulau Nias. Barang mentah tersebut di ekspor ke luar Nias menggunakan kapal-kapal di Gunungsitoli.
Umumnya kebutuhan sayur-sayuran dan buah-buahan masih di impor dari luar Nias. Sayur-sayur yang umumnya impor adalah hasil pertanian yang masih susah tumbuh, sulit dibudidayakan, dan belum pernah dilakukan dalam skala besar. Antara lain sayur kol, kubis, kentang, tomat, cabai, bawang, dan buah-buahan seperti apel, beberapa jenis mangga, pir, umbi bit, nenas, dan anggur. Beberapa bahan pokok dan pangan masih didatangkan seperti beras, ayam, babi, tahu, tempe, hingga petai dan ikan. Hal ini menginggat kebutuhan dan permintaan pasar yang sangat tinggi.
Nias memiliki buah-buah yang sangat dinikmati oleh masyarakat setempat dan pendatang. Baik wisatawan atau para pekerja yang ditempatkan di Nias. Beberapa buah tersebut menjadi ikon Pulau Nias seperti buah durian, kuini, dan langsat. Buah-buah tersebut menjadi favorit yang memiliki nilai pasar dan jual yang tinggi. Bahkan dikirim ke luar pulau karena harga jual yang lebih baik.
Sebagain lain yang tinggal di pantai berprofesi sebagai nelayan. Mereka menangkap berbagai jenis ikan yang ada di sekitar pulau. Ikan-ikan dijual umumnya masih fresh karena baru dipancing dari laut, terutama jenis tongkol, tuna, dan berbagai jenis lainnya. Sebagian ikan dikirim ke luar Nias karena nilai jual tinggi dan permintaan yang terus berdatangan.
Selebihnya masyarakat Nias bekerja sebagai pedagang dan lainnya. Selain itu penduduk juga beternak hewan seperti ayam, bebek, entok, dan babi. Namun untuk yang muslim beternak ayam, entok, kambing dan sapi. Umumnya masyarakat Nias menganggap bukan sebagai pekerjaan utama sehingga tidak begitu di seriusi. Hal ini dikarenakan beternak dianggap sebagai modal investasi atau kebutuhan adat.
Penduduk Pulau Nias punya budaya sendiri yang berbeda dengan daerah lainnya. Budaya tersebut merupakan manifestasi yang dikembangkan leluhur orang Nias yang diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya sangat erat hubungannya ono niha dengan cara bersikap, menghormati tamu, menjawab tantangan dari alam, hingga menjunjung tinggi norma yang berlaku dalam menjalankan setiap aturan, orang Nias sangat patuh dengan ketetapan tertinggi adat yang disebut fondrakö. Ketetapan tersebut membuat orang Nias tidak akan sembarangan dalam melakukan sesuatu.
Budaya megalitik menjadi ciri khas dari budaya Nias yang bertahan hingga masuknya misionaris dan Belanda sehingga mengubah watak dan cara berpikir masyarakat Nias. Namun benda-benda tersebut sampai saat ini masih terjaga. Benda-benda megalitik tersebar di semua tempat di Pulau Nias, namun sebagian telah banyak yang hancur dan hilang. Namun kita bisa melihat benda-benda tersebut dengan mudah di Nias Selatan.
Baca juga :
Sungai Nou di Gunungsitoli: Riwayatmu Kini
Eksotisme Terabaikan Pantai Mo'ale Nias Selatan
Rumah adat, ukiran, hingga budaya lompat batu masih terawat hingga kini. Selain itu masih ada tempat lain seperti di daerah pedalaman Kecamatan Gomo, Nias Selatan. Selain benda-benda tersebut, adat istiadat masih terus terjaga sampai hari ini dan menjadi simbol dari penghargaan orang Nias kepada leluhurnya. Seperti budaya menandu niö'walu (pengantin perempuan) ke rumah mempelai pria.
Pulau Nias memiliki banyak pesona keindahan yang menjadi nilai jual saat berkunjung. Umumnya yang dijual sebagai tempat objek wisata adalah pantai, rumah adat, dan batu-batu megalitik. Beberapa tempat telah dikenal hingga mancanegara seperti lompat batu, pantai Sokare, desa adat Bawomataluo. Semua daerah yang disebut itu berada di Kabupaten Nias Selatan. Sementara itu terdapat Tureloto, sebuah pantai yang terkenal dengan julukan Laut Mati dari Indonesia. Lokasinya di daerah Lahewa (Nias Utara).
Daerah lainnya di Pulau Nias saat ini sedang dikembangkan untuk dijadikan tempat wisata yang baru. Beberapa tempat awalnya sudah di promosikan, namun terkendala infrastruktur sekitar yang tidak mendukung. Wisata alam seperti tempat wisata air terjun dan danau megoto (Nias Utara) juga menjadi alternatif yang sangat sayang untuk dilewatkan. Juga cendera mata khas Nias yang banyak di jual di Teluk Dalam maupun Gunungsitoli.
Pemerintahan Pulau Nias sebelum era kolonial mengenal istilah Banua (Kampung/ Desa) dipimpin oleh Salawa (sebutan Nias Utara)/ Si Ulu (sebutan Nias Selatan) dan Öri (Persekutuan kampung/ kerajaan) dipimpin oleh Tuhenori. Kemudian masuknya kolonial Belanda tahun 1800 kemudian Inggris tahun 1821 dan kembali lagi ke Belanda tahun 1825. Namun ditahun 1870 barulah dibentuknya pemerintahan di daerah Nias atau disebut Onder Afdeeling Nias dan kemudian hari berubah Afdeeling Nias.
Afdeeling Nias dipimpin oleh Controuler kemudian dibagi beberapa Districten yang di pimpin Demang. Strata selanjutnya Onder Afdeeling diisi oleh pemimpin Öri yang dikenal Tuhenori. Onder Afdeeling mengikuti wilayah Öri walau Belanda punya hak ikut campur mengatur di dalamnya, termaksud perubahan struktur pemerintahan. Sementara strata terendah ialah Banua yang dinakhodai Salawa/ Si Ulu hingga jatuhnya Hindia Belanda oleh Pendudukan Jepang.
Masa Penjajah Jepang tahun 1942 berdasarkan Undang-Undang No. 1 bahwa pembagian Daerah Nias tidak ada perubahan berarti, kecuali Onder Afdelling dihilangkan dan perubahan sebatas ke dalam nama bahasa Jepang. Afdeeling diganti dengan Setyatya dengan nama pimpinan disebut Gun Saibun (Gunsu Sibu), Sementara Distrik disebut Gun dengan nama jabatan tertinggi disebut Kuntiyo dan Banua disebut Kum dengan nama jabatan Kumitjio. Gum dan Kum masih mempertahankan Tuhenori dan Salawa/ Si’ulu menjadi pimpinannya.
Baca juga:
Bulugowi dan Ternak Babi di Pulau Nias
Luaha Ndroi: Air Terjun Pedalaman yang Berbenah
Dimasa Kemerdekaan pemerintahan masih di daerah Nias tidak mengalami perubahan, termaksud strukturnya. Perubahan terjadi hanya pada perubahan nama, seperti Gun Saibun menjadi Kepala Luhak, Gun diganti Urung dipimpin dengan nama Asisten Kepala Urung, dan Kum diganti nama Urung Kecil dengan nama pimpinan Kepala Urung Kecil. Kemudian ditahun selanjutnya dilakukan pemekaran-pemekaran dengan pergantian nama.
Nama selanjutnya Kepala Luhak diganti dengan Bupati dengan nama pemerintahan disebut Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Nias. Sementara Urung diganti Kecamatan dan Urung Kecil diganti Desa. Kemudian tahun 2013 tepat tanggal 25 Februari Kabupaten Nias Selatan berdiri menjadi sebuah pemerintahan sendiri. Sementara tanggal 29 Oktober 2008 beberapa daerah lainnya mekar menjadi pemerintah sendiri seperti Nias Utara, Nias barat dan Kota Gunungsitoli.
Hingga saat ini pemerintahan 5 daerah di Pulau Nias telah berkembang dan berupaya dalam mensejahterakan masyarakat sekitarnya. Daerah tersebut telah menentukan ibukota masing masing antara lain:
1. Kabupaten Nias dengan ibukota Gido
2. Kabupaten Nias Selatan dengan ibukota Teluk Dalam
3. Kabupaten Nias Barat dengan ibukota Lahomi
4. Kabupaten Nias Utara dengan ibukota Lotu
5. Kota Gunungsitoli dengan ibukota Gunungsitoli.
Kelima pemerintah daerah ini telah membangun sebuah jaringan koordinasi yang dikenal Forkada (Forum Komunikasi Kepala Daerah) Kepulauan Nias. Forkada ini Bersama-sama membangun Pulau Nias untuk menjadi lebih baik lagi.
Untuk menuju ke Pulau Nias, ada 2 moda transportasi untuk bisa kesana yaitu pesawat dan kapal. Dari pesawat mengambil rute bandar udara tujuan Binaka (Gunungsitoli) dari Kualanamu (Medan), Minangkabau (Padang), Soekarno-Hatta (Jakarta) dan FL. Tobing (Sibolga). Khusus dari pesawat Jakarta akan transit terlebih dahulu ke Kualanamu dan pindah pesawat menuju bandara Binaka.
Sementara dari Sibolga ada pesawat perintis langsung menuju ke Nias, walau harga sangat mahal dan terbatas. Alternatif selanjutnya menuju Pulau Nias dari bandara FL. Tobing – Kualanamu – Binaka.
Moda transportasi selanjutnya menggunakan kapal. Saat ini menuju ke Pulau Nias terdapat 2 jalur resmi yaitu dari Pelabuhan Sibolga ke Pelabuhan Baru (kadang disebut juga Pelabuhan Angin) Gunungsitoli, Pelabuhan Singkil (Singkil/ Aceh) ke Pelabuhan Gunungsitoli Idanoi. Kemudian Rute Pelabuhan Sibolga menuju Pelabuhan Baru Teluk Dalam (Nias Selatan).
Pelabuhan dari Sibolga ke Nias hampir setiap hari akan melayani penumpang, kecuali hari Minggu. Saat ini kapal dari Sibolga tetap melayani penumpang tujuan Nias pada hari Minggu, namun dari Gunungsitoli tidak melayani penumpang di hari tersebut. Sementara dari kapal dari Singkil akan berlabuh di Gunungsitoli, tepatnya di Desa Siwalubanua II (15 km dari Gunungsitoli kearah Selatan, tepatnya kecamatan Gunungsitoli Idanoi). Hanya saja jalur ini beroperasi 2 kali dalam seminggu.
Selain itu alternatif lain bisa dari Pelabuhan Padang (Sumatera Barat) dan Tanjung Priuk. (Jakarta) ke Pulau Nias. Namun kapal dari Tanjung Priuk biasanya 1 kali setahun tepatnya akhir tahun. Sementara dari Padang menuju Pulau Tello (Pulau Batu) – Teluk Dalam. Hanya saja rute ini cenderung ribet karena transit terlebih dahulu. Selain itu kapal-kapal dari Tello ke Teluk Dalam atau sebaliknya hanya 2 kali seminggu beroperasi sehingga tidak efektif jadi rute perjalanan.
Baca juga:
Saat Gomo Punya View Puncak
Menikmati Puncak Soliga Gunungsito
Lasara, hewan mitologi dari Nias. Makhluk mitos ini dipercaya sebagai sosok pelindung dimasa lalu. |
Pulau Nias dikelilingi oleh berbagai pulau dengan ukuran besar hingga kecil. Sehingga sering disebut Kepulauan Nias yang menaungi sekitar 132 pulau yang tersebar disekitarnya. Pulau-pulau tersebut antara lain Pulau Hinako dan sekitarnya (Nias Barat), wilayah Afulu, Lahewa, Lahewa Timur, dan Sawo (Nias Utara), pulau sekitar Onolimbu (Nias), pulau kecil sekitar Amandraya (Nias Selatan), termaksud gugusan Pulau-Pulau Tello (Nias Selatan). Pulau-pulau tersebut ada yang ditempati juga dibiarkan tidak berpenghuni.
Peta pulau Nias dan pulau-pulau Batu. Sumber: Google Earth |
Baca juga:
Luaha Ndroi: Air Terjun Pedalaman yang Berbenah
Sawakete di Nias Utara: Mutiara Dalam Kubangan
Kondisi iklim di Pulau Nias menunjukkan iklim tropis dengan curah hujan cukup tinggi dan bervariasi. Rata-rata curah hujan 2000-2600 mm/ tahun, sehingga beberapa daerah rawan longsor, terutama jalan yang melewati sepanjang gunung dan bukit di arah tengah Nias. Sementara kelembapan sebesar 90% dengan temperatur rata-rata 20,5 – 30,5 derajat Calcius dan penyinaran sinar matahari 42%.
Pantai Ladeha (Nias Selatan), bebatuan, dan bukit yang mengelilinginya. |
Pulau Nias memiliki banyak penduduk dan etnis tersebar di Utara pulau hingga ke Selatan dan pulau-pulau sekitar. Umumnya penghuni pulau ini adalah etnis Nias yang tersebar di seluruh daratan pulau, termaksud sekitar Pulau-Pulau Batu dalam bahasa Nias, etnis Nias di sebut Ono Niha. Selain itu terdapat etnis di Nusantara dan bangsa lain yang hidup beranak pinak dari generasi ke generasi seperti Aceh, Batak, Minang, Bugis, Jawa, hingga Cina dan Timur Tengah.
Para pendatang dari pulau Nias menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah dan perkembangan pulau ini dari tahun ke tahun. Bahkan beberapa suku-suku pesisir Sumatera menjadi bagian sejarah di Pulau Nias dan mendapat hak sama dengan penduduk Nias setelah mengadakan fondrako (ketetapan hukum adat tertinggi di Nias). Seperti suku Aceh keturunan Polem membentuk sebuah banua di Siwulu (sekarang jadi Desa Mudik) dan Suku Caniago dari Minang membentuk banua di hilir sungai Nou (sekarang jadi Kelurahan Ilir). Mereka memperkenankan budaya baru, salah satunya seni silat ale. Saat ini keturunan kedua suku tersebut bermukim di Gunungsitoli.
Silat ale, salah satu seni silat berakar dari budaya Pesisir Sumatera. Digunakan dalam menyelanggarakan kegiatan adat, khususnya di Pesisir Nias. |
Baca juga:
Wisata Bakau Teluk Ba'a: Kawasan Andalan Mangrove di Nias Utara
Abrasi Pantai di Gunungsitoli: Di Lain Sisi
Kepercayaan di Nias memiliki kepercayaan tradisonal yang disebut fanömba adu atau dalam bahasa Indonesia disebut pemuja patung. Nama lain dari fanömba adu adalah pelebegu, merupakan pemberian nama dari para pendatang. Ajaran ini memiliki kepercayaan kepada dewa, kekuatan gaib, roh halus, dan arwah nenek moyang. Dewa tertinggi menurut kepercayaan fanömba adu adalah Lowalangi, yang saat ini maknanya telah bergeser dengan sebutan Tuhan. Hal tersebut agar memudahkan ajaran agama yang dibawa oleh misionaris diterima baik di Nias.
Sepasang adu (patung) dan rumah adat di Nias Selatan |
Baca juga:
Mayoritas penduduk bermata pencaharian petani, antara lain pekerja di sawah, kebun atau ladang. Pertanian yang umumnya ditanam adalah tanaman padi, karet, pinang, kakao, pisang, dan kelapa. Selain itu menanam hortikultur lainnya walau masih skala kecil. Pengolahan bahan-bahan alam tersebut masih belum ada di Pulau Nias. Barang mentah tersebut di ekspor ke luar Nias menggunakan kapal-kapal di Gunungsitoli.
Umumnya kebutuhan sayur-sayuran dan buah-buahan masih di impor dari luar Nias. Sayur-sayur yang umumnya impor adalah hasil pertanian yang masih susah tumbuh, sulit dibudidayakan, dan belum pernah dilakukan dalam skala besar. Antara lain sayur kol, kubis, kentang, tomat, cabai, bawang, dan buah-buahan seperti apel, beberapa jenis mangga, pir, umbi bit, nenas, dan anggur. Beberapa bahan pokok dan pangan masih didatangkan seperti beras, ayam, babi, tahu, tempe, hingga petai dan ikan. Hal ini menginggat kebutuhan dan permintaan pasar yang sangat tinggi.
Jejeran ohi/ nohi (pohon kelapa) di salah satu desa di Pulau Nias |
Sebagain lain yang tinggal di pantai berprofesi sebagai nelayan. Mereka menangkap berbagai jenis ikan yang ada di sekitar pulau. Ikan-ikan dijual umumnya masih fresh karena baru dipancing dari laut, terutama jenis tongkol, tuna, dan berbagai jenis lainnya. Sebagian ikan dikirim ke luar Nias karena nilai jual tinggi dan permintaan yang terus berdatangan.
Selebihnya masyarakat Nias bekerja sebagai pedagang dan lainnya. Selain itu penduduk juga beternak hewan seperti ayam, bebek, entok, dan babi. Namun untuk yang muslim beternak ayam, entok, kambing dan sapi. Umumnya masyarakat Nias menganggap bukan sebagai pekerjaan utama sehingga tidak begitu di seriusi. Hal ini dikarenakan beternak dianggap sebagai modal investasi atau kebutuhan adat.
Babi, hewan penting di Nias. Sangat dibutuhkan di upacara adat. |
Budaya megalitik menjadi ciri khas dari budaya Nias yang bertahan hingga masuknya misionaris dan Belanda sehingga mengubah watak dan cara berpikir masyarakat Nias. Namun benda-benda tersebut sampai saat ini masih terjaga. Benda-benda megalitik tersebar di semua tempat di Pulau Nias, namun sebagian telah banyak yang hancur dan hilang. Namun kita bisa melihat benda-benda tersebut dengan mudah di Nias Selatan.
Baca juga :
Sungai Nou di Gunungsitoli: Riwayatmu Kini
Eksotisme Terabaikan Pantai Mo'ale Nias Selatan
Rumah adat, ukiran, hingga budaya lompat batu masih terawat hingga kini. Selain itu masih ada tempat lain seperti di daerah pedalaman Kecamatan Gomo, Nias Selatan. Selain benda-benda tersebut, adat istiadat masih terus terjaga sampai hari ini dan menjadi simbol dari penghargaan orang Nias kepada leluhurnya. Seperti budaya menandu niö'walu (pengantin perempuan) ke rumah mempelai pria.
Keluarga mempelai pria menandu Niö'walu (pengantin perempuan). Budaya penghormatan bagi perempuan saat pernikahan yang terjaga sampai kini. |
Pulau Nias memiliki banyak pesona keindahan yang menjadi nilai jual saat berkunjung. Umumnya yang dijual sebagai tempat objek wisata adalah pantai, rumah adat, dan batu-batu megalitik. Beberapa tempat telah dikenal hingga mancanegara seperti lompat batu, pantai Sokare, desa adat Bawomataluo. Semua daerah yang disebut itu berada di Kabupaten Nias Selatan. Sementara itu terdapat Tureloto, sebuah pantai yang terkenal dengan julukan Laut Mati dari Indonesia. Lokasinya di daerah Lahewa (Nias Utara).
Daerah lainnya di Pulau Nias saat ini sedang dikembangkan untuk dijadikan tempat wisata yang baru. Beberapa tempat awalnya sudah di promosikan, namun terkendala infrastruktur sekitar yang tidak mendukung. Wisata alam seperti tempat wisata air terjun dan danau megoto (Nias Utara) juga menjadi alternatif yang sangat sayang untuk dilewatkan. Juga cendera mata khas Nias yang banyak di jual di Teluk Dalam maupun Gunungsitoli.
Rumah adat Nias di Gunungsitoli. Dimasanya rumah adat dimiliki oleh bangsawan, orang kaya, atau orang terpandang. |
Afdeeling Nias dipimpin oleh Controuler kemudian dibagi beberapa Districten yang di pimpin Demang. Strata selanjutnya Onder Afdeeling diisi oleh pemimpin Öri yang dikenal Tuhenori. Onder Afdeeling mengikuti wilayah Öri walau Belanda punya hak ikut campur mengatur di dalamnya, termaksud perubahan struktur pemerintahan. Sementara strata terendah ialah Banua yang dinakhodai Salawa/ Si Ulu hingga jatuhnya Hindia Belanda oleh Pendudukan Jepang.
Bangunan Instalasi Air dari zaman penjajah Belanda di Gunungsitoli |
Baca juga:
Bulugowi dan Ternak Babi di Pulau Nias
Luaha Ndroi: Air Terjun Pedalaman yang Berbenah
Dimasa Kemerdekaan pemerintahan masih di daerah Nias tidak mengalami perubahan, termaksud strukturnya. Perubahan terjadi hanya pada perubahan nama, seperti Gun Saibun menjadi Kepala Luhak, Gun diganti Urung dipimpin dengan nama Asisten Kepala Urung, dan Kum diganti nama Urung Kecil dengan nama pimpinan Kepala Urung Kecil. Kemudian ditahun selanjutnya dilakukan pemekaran-pemekaran dengan pergantian nama.
Nama selanjutnya Kepala Luhak diganti dengan Bupati dengan nama pemerintahan disebut Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Nias. Sementara Urung diganti Kecamatan dan Urung Kecil diganti Desa. Kemudian tahun 2013 tepat tanggal 25 Februari Kabupaten Nias Selatan berdiri menjadi sebuah pemerintahan sendiri. Sementara tanggal 29 Oktober 2008 beberapa daerah lainnya mekar menjadi pemerintah sendiri seperti Nias Utara, Nias barat dan Kota Gunungsitoli.
Hombo batu, situs yang dijadikan tempat adu kejantanan lelaki suku Nias khususnya Nias Selatan. Menjadi identitas Suku Nias secara umum. |
1. Kabupaten Nias dengan ibukota Gido
2. Kabupaten Nias Selatan dengan ibukota Teluk Dalam
3. Kabupaten Nias Barat dengan ibukota Lahomi
4. Kabupaten Nias Utara dengan ibukota Lotu
5. Kota Gunungsitoli dengan ibukota Gunungsitoli.
Kelima pemerintah daerah ini telah membangun sebuah jaringan koordinasi yang dikenal Forkada (Forum Komunikasi Kepala Daerah) Kepulauan Nias. Forkada ini Bersama-sama membangun Pulau Nias untuk menjadi lebih baik lagi.
Untuk menuju ke Pulau Nias, ada 2 moda transportasi untuk bisa kesana yaitu pesawat dan kapal. Dari pesawat mengambil rute bandar udara tujuan Binaka (Gunungsitoli) dari Kualanamu (Medan), Minangkabau (Padang), Soekarno-Hatta (Jakarta) dan FL. Tobing (Sibolga). Khusus dari pesawat Jakarta akan transit terlebih dahulu ke Kualanamu dan pindah pesawat menuju bandara Binaka.
Para surfer (peselancar) istirahat sejenak di Nias Selatan. Pantai-pantai di Nias Selatan sangat terkenal di dunia karena keganasan ombaknya. |
Moda transportasi selanjutnya menggunakan kapal. Saat ini menuju ke Pulau Nias terdapat 2 jalur resmi yaitu dari Pelabuhan Sibolga ke Pelabuhan Baru (kadang disebut juga Pelabuhan Angin) Gunungsitoli, Pelabuhan Singkil (Singkil/ Aceh) ke Pelabuhan Gunungsitoli Idanoi. Kemudian Rute Pelabuhan Sibolga menuju Pelabuhan Baru Teluk Dalam (Nias Selatan).
Pelabuhan dari Sibolga ke Nias hampir setiap hari akan melayani penumpang, kecuali hari Minggu. Saat ini kapal dari Sibolga tetap melayani penumpang tujuan Nias pada hari Minggu, namun dari Gunungsitoli tidak melayani penumpang di hari tersebut. Sementara dari kapal dari Singkil akan berlabuh di Gunungsitoli, tepatnya di Desa Siwalubanua II (15 km dari Gunungsitoli kearah Selatan, tepatnya kecamatan Gunungsitoli Idanoi). Hanya saja jalur ini beroperasi 2 kali dalam seminggu.
Penulis berpose di Bandara Binaka. Bandar udara ini menjadi lokasi gerbang memasuki Pulau Nias lewat jalur udara. |
Baca juga:
Saat Gomo Punya View Puncak
Menikmati Puncak Soliga Gunungsito
mari gabung bersama kami di Aj0QQ*co
ReplyDeleteBONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
BONUS REFERAL 20% seumur hidup.