Skip to main content

Bulu Gowi dan Ternak Babi di Pulau Nias

       Saat berkunjung di Pulau Nias, baik pengunjung atau tamu akan mudah melihat tanaman umbi jalar dan ternak babi. Sebagian orang akan kebingungan karena tanaman umbi jalar tumbuh di setiap tempat kosong di Nias. Seolah menjadi tanaman primadona yang hampir dipelihara masyarakat. Belum lagi melihat ternak babi diangkut menggunakan becak sepeda motor, becak, atau kendaraan roda empat. Hal yang tidak lazim dilihat di kota-kota besar Indonesia, terlebih tamu atau orang yang baru pertama sekali ke Nias yang tumbuh dan berkembang lingkungan mayoritas Islam.
      Tanaman umbi jalar tumbuh baik di pekarangan rumah, kebun, ladang, hingga di pinggir jalan. Hal lazim yang ditemui hampir sepanjang jalan, baik jalur lintas propinsi hingga jalan setapak dan onderlach (istilah di Nias untuk kondisi jalan berupa susunan batu). Umumnya tanaman ini ditanam tanpa perlakuan istimewa, sehingga tumbuhnya cenderung liar dan seolah tidak terurus. 
Seorang petani membawa bulu gowi (tanaman umbi jalar) mengendarai kendaraan bermotor
      Tanaman tersebut dan babi tidak bisa terlepaskan dalam kebiasaan dan tradisi warga Nias, khususnya yang beragama Kristen Protestan dan Katolik. Tanaman ini digunakan sebagai pakan utama hewan babi, merupakan binatang peliharaan dan upacara adat di Tano Niha. Batang dan daun tanaman digunakan sebagai pakan ternak, sementara umbi jadi makanan pengganti beras.
       Tidak tahu percisnya kapan bulu gowi masuk ke Tano Niha (Pulau Nias, Bahasa Nias). Menurut para ahli botani dan pertanian, awal mula tanaman dengan nama latin Ipomoae batatas berasal dari 2 versi (1). Ada yang mengatakan berasal dari Amerika Tengah yang disebar oleh orang-orang Eropa, terutama Spanyol, kemudian versi selanjutnya dari wilayah Oseania, termaksud Polinesia, Papua, Australia, dan Serlandia Baru. Namun sampai saat ini penulis belum mendapat referensi terkait tanaman ini sampai ke Nias dan sejak kapan digunakan sebagai pakan ternak.  
Bulu gowi ditanam di pinggir jalan
       Bulu gowi ada yang ditanam di pekarangan rumah, kebun, sampai menanam di pinggir jalan. Bahkan juga ditanam di petak tanah milik warga lain hingga di kuburan. Sebelum menanam, mereka terlebih dahulu izin ke pemilik tanah atau pihak pengelola sekitar agar diberi izin menggunakan petak tanah kosong tersebut. Rata-rata warga pemilik tanah atau pengelola akan mengizinkan mereka menggunakan petak tanah tersebut. Karena secara tidak langsung peminjam lahan akan menjaga kebersihan tempat tersebut dari gulma, tanaman liar, hingga hewan-hewan yang berbahaya.
       Baca juga:
Tentang Pulau Nias
Manula Banio: Proses Mengupas Buah Kelapa Secara Tradisional di Nias
       Penanaman bulu gowi di Nias dilakukan secara tradisonal dan ditanam saat matahari tergelincir hingga terbenam. Hal ini berkaitan dengan intensitas suhu, cuaca, serta aktifitas sosial masyarakat. Kegiatan ini dilakukan saat para pemilik lahan pulang setelah telah menyelesaikan kegiatan atau aktifitas di rumah. Yang menanam bulu gowi bukan hanya para petani, juga para pedagang, ASN, hingga ibu rumah tangga. 
       Bulu gowi ditanam menggunakan sistem stek. Batang stek yang dipilih dijadikan bibit dari sulur batang tua. Sebelumnya lahan dibersihkan dari berbagai tumbuhan liar dan dibakar. Kemudian tanah sedikit digemburkan dan menanam sulur menggunakan jari dengan cara menancapkan sulur ke dalam tanah. Lubang tanah kemudian ditutup dengan tanah. Selama 3-5 hari sulur tersebut tumbuh dan pemanenan dilakukan setelah 1 bulan saat sulur gowi berkembang banyak.
Bulu gowi dijual di pinggir jalan dan dijual dengan istilah golu
      Aktifitas ini cenderung kegiatan sampingan dan bukan aktifitas utama. Karena beternak babi umumnya hanya dilakukan sebagai kegiatan tambahan. Umumnya yang menanam bulu gowi adalah ibu-ibu dan anak-anak, sementara yang mengangkut dan memberi makan adalah keluarga, baik bapak, ibu, atau anak. Namun melihat berkurangnya jumlah lahan kosong dan kebutuhan pakan gowi semakin meningkat, saat ini bulu gowi diperjual belikan terutama daerah perkotaan.
       Bulu gowi  dijual per ikat atau istilah Nias disebut dengan gölu (dibaca gelu, huruf e agak tebal). Setiap gölu atau disebut juga sagölu dihargai mulai 6-10 ribu Rupiah tergantung tempat penjualan. Harga per gölu di kota jauh lebih mahal dari daerah piggiran. Di daerah Gunungsitoli bisa dilihat di Jalan Diponegoro tepatnya ex. terminal lama dan dekat pertigaan SMP Negeri 1 Gunungsitoli. 
       Meski penggunaan bulu gowi sebagai pakan belum diketahui sejak kapan digunakan, umumnya batang dan daun tersebut untuk jadi dasar pakan babi. Kadang juga dicampur dengan umbi saat stok melimpah umbu jalar melimpah. Gowi akan diiris kecil-kecil dan dicincang menggunakan pisau atau alat bantu pemotong pakan. Biasanya di Nias menggunakan alat kukur kelapa yang telah didesain dengan cara membuat lubang di sisi alat kukur.
       Bulu gowi untuk pakan ternak babi dibuat setiap 2 kali sehari dengan campuran hamo (dedak), lölöbanio (ampas kelapa), kosentrat, hingga sisa-sisa makanan konsumsi seperti nasi, daging, dan ikan. Kemudian dicampur seperti bubur dan diberikan ke babi. Setiap ekor mbawi bisa mengonsumsi hingga 5-10 kg per hari tergantung ukuran, berat, dan jenis hewan. 
Gambar babi yang diternakkan di Nias
       Ternak babi merupakan hal yang wajar saat berada di Pulau Nias. Umumnya setiap rumah memiliki kandang babi di belakang rumah. Hal ini bisa terlihat saat berjalan-jalan ke buah tempat, setiap waktu pagi atau sore hingga terbenam matahari akan terdengar suara-suara babi dari kandang pemilik rumah. kegiatan sampingan ini memiliki nilai jual yang tinggi serta investasi dan keperluan adat. 
       Baca juga:
Pantai Sa'ua, Batu Atola, dan Misteri Batu Karang di Nias Selatan
Kolam Renang Soladari Nias Utara: Potensi Desa Dari Dana Desa
       Babi (mbawi, bahasa Nias) di Pulau Nias umumnya jenis babi liar yang telah dibudidayakan. Dikatakan bahwa babi Nias termaksud jenis asli dari Indonesia (2). Karakteristik babi Nias antara lain: liar dan agresif, badan berukuran besar, perut besar dan turun, punggung agak datar dan sedikit melengkung, telinga lebih tegak dan kecil serta mulut runcing, bulu babi agak tebal dan lebat khususnya bagian leher serta bahu, warna cenderung belang hitam dan sedikit putih. Kemudian jumlah puting 4-6, rata-rata anak 2-6 ekor per siklus kelahiran, dan berat 25-50 kg. Pada umur 10 bulan dengan cara tradisonal bahkan bisa mecapai ukuran berat babi dapat mencapai 70 kg.
       Kemudian ada jenis babi lain yang didatangkan dari luar pulau dan telah dikawin silangkan menjadi peranakan. Namun beberapa tempat di Pulau Nias seperti di Desa Teluk Belukar, Gunungsitoli telah membudidayakan jenis babi unggulan yang mengonsumsi pakan pabrik. Kebutuhan babi sangat tinggi membuat peluang untuk prospek bisnis ini  sebenarnya menguntungkan.
Salah satu bentuk kandang babi di Nias. Ukuran, bahan, dan bentuk kandang tergantung dari kemampuan pemilik ternak
       Rata-rata masyarakat Nias beternak babi jenis lokal atau dikenal dengan babi kampung karena tidak rewel soal pakan. Harga pakan pabrik yang semakin tinggi membuat pemilik ternak cenderung memilih jenis ini. Terlebih ketahanan fisik dan umur babi lokal lebih baik dan banyak dibutuhkan oleh pembeli, terutama menjelang akhir tahun untuk kebutuhan pesta nikah. Menurut masyarakat Nias, rasa daging babi ini sangat enak karena menggunakan pakan alami seperti bulu gowi dicampur bahan-bahan lainnya  
       Walaupun siklus tumbuh babi cepat dan menguntungkan, tetap saja hanya sebatas kegiatan dan aktifitas sampingan. Kebutuhan pakan yang banyak, biaya perawatan besar, lahan yang cenderung semakin sempit, dan tingkat mortalitas (kematian) cukup tinggi membuat peternakan babi bukan pekerjaan utama. Hal ini dimaklumi mengingat beternak babi masih menggunakan cara tradisonal tanpa mengedepankan aspek Kesehatan dan perawatan sesuai standar kandang dan ternak. 
       Zaman dulu kandang babi dibuat seadanya menggunakan berbagai jenis batang kayu. Kadang juga semi umbar dan diumbar di halaman rumah. Posisi kandang babi berada tepat di atas tempat buang air besar (BAB) atau didekat pembuangan limbah pemilik rumah (3). Berkembangnya pengetahuan yang digencarkan oleh misonaris membuat masyarakat akhirnya berpikir maju untuk memiliki kamar mandi dan tempat BAB. Kemudian ternak dibuatkan kandang agar babi tidak kemana-mana juga diajarkan memberi pakan ternak. Posisi kandang juga dipisahkan dari tempat BAB dengan pemilik rumah.
Ternak babi dibawa menggunakan becak barang
       Kebutuhan babi dalam upacara adat zaman dahulu kala hingga ratusan ekor setiap acara. Namun sekarang ini tidak seperti dulu walaupun masih terhitung tinggi. Dalam jumlah besar pihak tuan rumah mempersiapkan dirinya, salah satunya beternak di rumah meski skala rumahan, sekitar 2-8 ekor. Selain itu babi juga dijadikan arisan keluarga dalam kegiatan adat seperti pesta pernikahan.
       Walau bukan jadi penghasilan utama, kebutuhan babi dalam acara dan permintaan pasar sangat tinggi. Harga babi mulai dari ratusan hingga jutaan tergantung umur, berat, dan ukuran. Hal lazim melihat babi diangkut menggunakan sepeda motor, becak barang, hingga mobil pick-up dan truk. Kebutuhan tinggi ini bisa dilihat berkembangnya tempat penjualan daging babi eceran, rumah makan B2 (kode daging babi di Nias), dan penyedia zimbi (rahang bawah kepala babi) untuk keperluan adat.
       Tumbuhan ubi jalar dan babi di Nias sangat erat dan tidak dapat terpisahkan. Sehingga kultur dan budaya dulu dan terawat sampai saat ini. Hal yang lumrah bisa dijumpai di Pulau Nias dan hal yang langka saat warga luar datang berkunjung ke Nias. Semoga tulisan ini memberi pemahaman tentang suasana yang ada di Nias. Karena setiap daerah punya sesuatu yang unik sebagai identitas sebuah tempat.
       Baca juga:
Sawakete di Nias Utara: Mutiara dalam Kubangan
Sungai Nou Riwayatmu Kini

Sumber: 
(1) Lermansius Haloho. 2015. Prospek, Kendala, dan Peluang Pengembangan Ubi Jalar di Kepulauan Nias. Prosiding Seminar Hasil Tanaman Aneka Kacang dan Umbi.
(2) Bayu D. P. Soewandi dan C. Talib. 2015. Pengembangan Ternak Babi di Indonesia. Jurnal Wartazoa. Vol. 25: 01.
(3) Peninjau. 1976. Majalah Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-Geraja di Indonesia. Tahun ke III. Satya Wacana : Semarang.

Comments

  1. Numpang promo ya Admin^^
    ajoqq^^cc
    mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
    mari segera bergabung dengan kami.....
    di ajopk.com ^_~
    segera di add Whatshapp : +855969190856

    ReplyDelete

Post a Comment