Skip to main content

Sawakete di Nias Utara: Mutiara Dalam Kubangan

      Sawakete yang berada di Kecamatan Afulu, Nias Utara tidak terlepas dari saksi gempa tektonik 8.7 SR tahun 2005. Menjadi bencana sekaligus fenomena alam yang terjadi di Pulau Nias,  setidaknya begitulah hasil kacamata penulis berkeliling di pulau ini. Beberapa kawasan tempat tersebut menjadi daya tarik untuk dipromosikan sebagai daerah wisata. 
      Penulis sempat bertanya ke beberapa warga desa tentang fenomena gempa terhadap naiknya daratan di beberapa tempat di Nias Utara, salah satunya di Afulu. Warga sekitar mengatakan daerah yang saat ini dikenal Sawakete mulanya kawasan laut dan batu karang. Terjadi perubahan sejak gempa dan mengubah tempat tersebut menjadi daratan baru hingga saat ini.
   
Foto Sawakete Pemandangan
      Pengunjung bisa ke Sawakete menggunakan roda 2 dan 4. Jarak dari Gunungsitoli ke tempat tersebut sekitar 2.5 jam melalui jalur Gunungsitoli-Lotu-Lahewa-Afulu. Saat ini kondisi jalan beraspal dan kerusakan di beberapa titik. Terlebih saat menuju Lotu melewati Hilimaziaya terdapat titik jalan amblas dan longsor. Namun jalur tersebut relatif aman, setidaknya menjadi jalur utama yang sering diperbaiki setiap saat.
      Kawasan jalan aspal yang mulus hanya ada di Gunungsitoli hingga melewati perempatan Lahewa-Afulu. Setelah itu jalan mengalami kerusakan dari sedang hingga parah. Dibeberapa titik menuju Afulu terdapat jalan yang berkubang air dan lumpur. Pengendara kendaraan, baik warga sekitar dan pengunjung harus ektra hati-hati melewati jalan tersebut.

Kondisi jalan menuju Sawakete
      Sesaat sampai di desa Afulu, pengunjung khususnya yang membawa roda 4 wajib parkir kendaraan di dekat rumah warga. Sebab pengunjung wajib berjalan kaki sejauh 1 km dari jalan utama. Alasannya belum ada jalan resmi yang dibangun menuju tempat tersebut. Kendala lainnya karena tempat tersebut tersebunyi dan tidak ada papan nama, walau tag di aplikasi Google telah menandai tempat ini. Berbeda dengan tempat-tempat lain yang memilki papan nama dan alamat lokasi.

      Baca juga:
Ramadhan dan Pandemi di Nias (Part 3) : Semangat Rasa Peka
Saat Gomo Punya View Puncak

      Terdapat tiga jalur ke Sawakete dan penulis telah melewati 3 jalur di 3 kali kesempatan berbeda. Pertama dimulai dari Pantai Laosi-Laosi atau dikenal Pantai Afulu, kemudian  berjalan kaki menyelusuri bibir pasir arah kiri sejauh 1 Km. Yang kedua melewati jalan setapak sebelum Masjid At Taqwa Afulu, berjalan kaki melewati pohon kelapa dan pantai sejauh 1 km. Dan yang ketiga melewati Pantai Turedawola kemudian berjalan telusuri kebun kelapa milik warga.

Suasana alam di Sawakete
      Penulis menyarankan ke pengunjung untuk melewati jalan yang ketiga. Alasannya relatif aman dari sengatan sinar matahari yang terik. Selain itu  lebih mudah membawa kendaraan roda 2. Selain itu kita bisa melihat banyak home stay milik wisatawan mancanegara yang terbuat dari bahan kayu dengan pagar bambu.  Mereka sengaja membangun home stay selain rumah hunian dan tempat bersantai, juga lokasi Pantai Turedawola tempat bermain surfing
      Sesampainya disana, penulis melihat beberapa pengunjung telah terlebih dahulu datang dan memilih tempat berteduh.  Air asin dari gelombang pasang laut, suara gemuruh ombak, dan batu koral mati menjadi pemandangan tersendiri saat berada disana. Pengunjung bisa melihat secara langsung banyak batu karang yang mati dan ditumbuhi pohon-pohon dan tanaman semak. 


Batu karang yang mati akibat gempa tektonik di Sawakete
Foto 2
Batu karang yang mati pasca gempa tektonik
       Bentuk Sawakte  seperti selat atau sungai yang membelah daratan utama ke sebuah daratan berbentuk pulau. Padahal pulau tersebut masih bagian daratan Nias. Tempat yang mirip sungai tersebut merupakan daratan yang berada dibawah garis pantai dengan panjang sekitar 500 meter dan lebar hingga 30 meter.
      
       Baca juga:
Ramadhan dan Pandemi di Nias (Part 2) : Malam Senyap Tanpa Tadarus

     
     Air laut masuk dari ombak laut di sisi barat daya dan pecah karena lewati batu karang. Kemudian keluar di sisi timur laut Sawakete, seolah membuat sungai dan pulau di sebelahnya. Air laut yang masuk di Sawakete mulanya berarus kuat akibat gelombang ombak kemudian perlahan arus menjadi tenang.
      Sawakete akan terisi air laut saat terjadinya pasang. Namun saat laut surut justru sebaliknya. Sawakete seperti hamparan seolah sungai kering dengan pasir putih dan koral mati di sekelilingnya. Bisa dijadikan lokasi latar jepretan kamera pre-wedding, foto model, alam dan lainnya.  Baik saat pasang maupun surut, Sawakete memang bagus.

Pemandangan Sawakete saat laut surut
          Pegunjung baik yang tua atau muda berenang bebas di tempat tersebut. Arus yang tenang dan dangkal membuat banyak pengunjung  berenang sepuasnya. Terdapat beberapa ikan dan beberapa hewan laut yang bisa dilihat baik secara langsung maupun snorkling
       Di sisi barat daya Sawakete agak dalam dan arus cukup kuat. Penulis menyarankan bagi pengunjung yang ingin berenang arah ke barat daya untuk menggunakan sepatu menyelam karena banyak hewan sowagoma (bulu babi, bahasa Nias). Beberapa pengunjung mengalami kejadian cedera karena tidak sengaja menginjak  sowagoma  di dekat batu karang.
         Penulis coba menyarankan pengunjung untuk datang ke arah batu karang dan ombak besar. Terdapat hamparan pasir putih memanjang, view samudera yang luas dan gulungan ombak yang besar belum tentu dirasakan pengunjung di tempat lain. Di arah ke depan terdapat pulau sejauh 3 km walau terlihat samar. Menuju tempat tersebut, pengujung perlu berjalan melewati semak-semak ke arah barat daya.

Pantai batu karang dengan ombak di sisi barat daya
         Pengunjung yang datang biasanya memilih berada di bawah pohon untuk berteduh, karena sampai saat ini belum ada tempat berteduh berbentuk permanen. Selain itu tidak ada fasilitas ruang ganti pakaian dan kamar mandi. Bagi pengunjung terutama kaum hawa penulis menyarankan untuk berpakaian renang sebelumnya di rumah. Atau tidak pengunjung bisa menganti pakaian di semak-semak ke dalam. Sesuatu hal yang membuat risih khususnya kaum hawa.
         Saat ini sudah ada kantin berbentuk nose-nose sederhana walau terhitung jari. Walau hanya menjajakan makanan ringan saja. Biasanya pengunjung disini membawa tikar atau bekal makan untuk disantap disana, terlebih saat lapar menghamipiri kala bermain air laut. Ada juga pengunjung membawa ikan untuk dipanggang disana. Terlebih banyaknya kayu disekitar sawakete bisa digunakan untuk dibakar. 

Pengunjung berteduh dan menikmati hidangan makanan

      Tidak ada fasilitas tempat membuat sampah membuat beberapa oknum pengunjung membiarkan sampahnya tergeletak disana. Walau begitu terdapat masyarakat dan pengunjung menaruh perhatian dengan membersihkan sampah. Cukup untuk membersihkan sampah khususnya berbahan anorganik yang susah terurai dengan cara dibakar. 
      Ibarat mutiara dalam kubangan, tempat ini harusnya layak untuk dikelola dengan baik. Walau infonya msih milik warga sekitar, namun harapan tetap ada campur tangan pemerintah terkait memaksimalkan sebagai pendapatan asli. Baik dikelola oleh BUMDes, pemerintah setempat, atau investor perorangan. 
      Suasana alam yang asri menjadi faktor utama Sawakete jadi alasan destinasi walau medan lokasi tergolong sulit. Seolah kekurangan yang ada bukan alasan pengunjung untuk tidak datang kembali.  Setidaknya itulah yang penulis rasakan dan pengunjung lainnya terus kembali di tempat ini.

Comments

  1. Mantap ! Sukses selalu Izfar , jangan berhenti berkarya 👍👍👌

    ReplyDelete
  2. Saya selaku salah satu remaja afulu mengucapkan terima kasih atas sebuah cara pengenalan yg d lakukan oleh penulis untuk mempublikasikan sawakete ini

    ReplyDelete
  3. Mantap bg, publish terus ke media. Biar jadi jalan untuk membumikan wisata dinias.

    ReplyDelete

Post a Comment