Pandemi yang berawal dari dataran Tiongkok akhir tahun lalu sampai terbawa ke Nias. covid-19 (corona virus disaster-19) mengubah banyak hal, mulai dari sikap, kepedulian, hingga anggaran sebuah negara. Akfifitas sosial budaya saat pendemi dan new normal menjadi hal baru yang sebagian besar orang di Kepulauan Nias rasakan. Hal baru tersebut tertulis di beberapa catatan yang penulis rasakan sebagai warga Nias.
Rasa rasa khawatir tentang kejadian flu Spanyol awal dekade 20-an atau black date abad ke 17 menjadi cacatan trauma mendalam. Saat ini new normal adaptasi di pandemi covid-19 mengubah sikap, lifestyle orang-orang, tak terkecuali di Nias. Berbagai kebijakan protokol kesehatan sangat diutamakan, meski kenyataan dilapangan banyak yang dilanggar.
Pasca bulan Maret tahun 2020 ditetapkan kasus pertama positif covid-19 di Indonesia, sosial budaya masyarakat Indonesia berubah. Rasa takut dan was-was melanda seluruh negeri. Hingga benda-benda pelindung diri seperti masker dan hand sanitizer menjadi barang langka dan harga tidak masuk akal. Budaya baru dengan adaptasi membawa alat-alat pelindung diri menjadi lumrah hingga kini.
Baca juga:
Kebijakan pemerintah tentang pandemi menitikberatkan sosial distancing, work from home (WFH), dan pembatasan berkumpul menjadi hal terbaik. Sosialisasi memakai masker setiap keluar rumah, selalu cuci tangan, dan menghindari kerumunan digencarkan baik melalui televisi, iklan di media sosial, berita online, spanduk, baliho, hingga poster-poster. Tag #dirumahaja jadi topik tranding. Hingga jadi adaptasi budaya baru yang bisa dirasakan saat ini, termaksud di Nias.
Adaptasi pembatasan di ruang publik dan tempat banyak berkumpul orang seperti ATM, tempat nongkrong, dan lokasi wisata jadi hal baru di new normal. Tempat cuci tangan selalu di setiap sudut tempat ramai, hingga anjuran memakai masker jadi trend. Tempat-tempat yang berinteraksi dengan publik seperti bank memberi jarak duduk setiap nasabah. Aktifitas publik juga dipersingkat dan dibatasi. Kondisi tersebut menjadi masalah baru karena masyarakat belum bisa menerima penyesuai yang terjadi.
Pasar tradisional saat malam hari dan alat cuci tangan di depan toko |
Di Pulau Nias, budaya bersepeda hidup kembali setelah puluhan tahun tenggelam rasa asik kendaraan bermotor. Komunitas sepeda bermunculan mulai pandemi hingga new normal. Dari pejabat hingga warga bersepeda untuk budaya sehat dan terhindar dari sakit. Sepeda seolah menjadi barang baru dan bentuk sosial kelas. Sampai muncul istilah sepeda jadi barang kelas sosial dan objek selfi di media sosial.
Papan informasi di salah satu rumah dibadah di Pulau Nias |
Kebutuhan permintaan masker mulai dari awal pendemi hingga new normal menjadi lahan bisnis baru bagi sebagian orang. Mulai berbahan kain, scuba, dan masker medis kebanjiran pesanan. Belum lagi barang-barang herbal seperti jahe, kunyit, kayu manis, dan buah-buahan jadi laris manis di pasaran.
Baca juga:
Sementara produk-produk menambah stamina tubuh ikut laris di pasaran. Kemudian barang-barang kebersihan diri seperti cuci tangan menjadi barang dagangan yang laku. Kebutuhan adaptasi ini masih terus berlanjut hingga kini, terlebih bertambahnya korban covid-19 di Pulau Nias, khususnya Gunungsitoli.
Tempat rekreasi publik saat pandemi seperti Taman Ya’ahowu, Tugu Gempa, dan lokasi objek wisata menjadi sepi. Penyemprotan disinfektan dijalan dan setiap rumah yang diinisiasi beberapa kelompok masyarakat dan pemerintah menjadi hal baru. Hingga berlaku new normal, adaptasi cuci tangan dan menggunakan masker jadi syarat wajib untuk masuk ke tempat-tempat tersebut.
Aplikasi zoom atau sejenisnya jadi sangat terkenal. Begitulah pengalaman baru para pengguna smartphone, termaksud penulis. Melakukan rapat dan interaksi menggunakan teknologi virtual tanpa harus bertemu. Beberapa aplikasi seperti whatsapp, google class, telegram jadi kebutuhan wajib untuk beraktifitas.
Aktifitas belajar dipindahkan dirumah dan pembelajaran dilakukan dengan daring jadi adaptasi budaya baru. Internet menjadi barang primer selain nasi dan lauk-pauk. Penjualan smartphone dan laptop menjadi tinggi karena permintaan kebutuhan.
Aktifitas belajar dipindahkan dirumah dan pembelajaran dilakukan dengan daring jadi adaptasi budaya baru. Internet menjadi barang primer selain nasi dan lauk-pauk. Penjualan smartphone dan laptop menjadi tinggi karena permintaan kebutuhan.
Pemandangan rumah ibadah di Nias sempat ditutup karena pandemi terjadi. Sebagian kalangan menerima hal tersebut sebagai bentuk antisipasi. Sementara lainnya kesal dan belum bisa menerima keadaan.
Petugas mengukur suhu jamaah shalat menggunakan thermo gun |
Pandemi yang hadir menjadi hal yang harus diwaspadai. Namun bukan ditakuti hingga berlebihan. Kondisi yang terjadi jadi keberkahan sebagian orang meski jadi bencana sebagian kalangan. Kita mesti saling bekerja sama dan menjaga protokol kesehatan dengan beradaptasi di new normal. Meski saat ini korban telah berjatuhan, bukan berarti kita menjadi takut berlebihan. Ikuti protol yang ada meski terkesan berat untuk dilakukan. Semoga badai pandemi covid-19 ini cepat berlalu.
Baca juga:
Comments
Post a Comment