Skip to main content

Ramadhan dan Pandemi di Nias (Part 4) : Penjual Ta'jil Jalan Terus

        Ramadhan tahun ini menjadi kesan sendiri bagi umat Islam, tidak terkecuali di Pulau Nias. Dengan populasi kecil tidak menghambat para pemeluknya menjalankan syariat agamanya tanpa gangguan berarti termaksud merebaknya infeksi virus korona berbagai tempat di Indonesia. Pemeluk agama Islam terbesar di Nias tepatnya Kota Gunungsitoli dengan populasi  kurang dari 15% juga merasakan yang sama kemajemukan di pulau tercinta.
        Menjelang berbuka puasa, dimulai dari jam 3 sore hingga magrib sekitar 18.30 WIB banyak pembeli berbelanja berbagai menu berbuka. Para penjual di jam tersebut telah ready menjajakan jualannya selama di bulan Ramadhan. Pembeli ta’jil tidak hanya orang yang berpuasa, termaksud yang tidak puasa menikmati indahnya khazanah di ritual tahunan umat Islam.
        Bencana pandemi virus ini telah merusak dan mengubah tatanan yang ada. Televisi dan berita di internet menginfokan banyak kisah tragis akibat pandemi ini. Mulai dari berjatuhan korban siswa dan mahasiswa sementara waktu belajar di rumah, aktivitas publik terganggung, jalan cenderung sepi, pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga pesta pernikahan di undur. Namun di beberapa tempat, khususnya di Nias sementara waktu masih aman dari virus tersebut atau zona hijau.
        
        Baca juga:
Sawakete di Nias Utara: Mutiara Dalam Kubangan
Tempat Perekat Keluarga Pantai Asi Walo di Nias Utara
Persiapan berbagi Ta'jil
      Zona hijau adalah zona yang aman dan belum terdapat warga yang terinfeksi ataupun meninggal dengan gejala virus korona. Hanya saja sikap was-was selalu ada, terutama saat ada warga yang datang dari seberang (Pulau Sumatera termaksud kota Sibolga atau Medan) menjadi daftar intaian. Begitu juga tempat keramaian seperti pasar atau tempat jual beli lainnya. Namun hal berbeda saat ada perjual jajanan berbuka puasa.

      Baca juga:
Ramadhan dan Pandemi di Nias (Part 1) : Saat Ibadah di Rumahkan

      Sepajang perjalanan sore menjelang waktu berbuka, para pembeli tumpah ruah datang. Berbagai pembeli di Gunungsitoli dan sekitar datang berbelanja menu berbuka. Tidak hanya umat Islam saja, umat lainnya ikut berbelanja jajanan khas berbuka. Maklum, selain karena waktu sore termaksud waktu lenggang, juga ada beberapa menu jajanan sangat jarang dijumpai di luar Ramadhan. Ini menjadi timing pas khususnya pecinta kuliner.
       Setiap sore menjelang berbuka penjual yang menjajakan ta’jil dihampiri para pembeli. Sepanjang jalan utama seperti Jalan Diponegoro, Jalan Yossudarso, hingga lokasi kuliner Pelabuhan Lama di Gunungsitoli ramai diburu pembeli, terlebih menjelang waktu berbuka. Belum lagi di derah lainnya seperti di Nias dan Nias Utara. Bermodal tipis dengan harga jajanan mulai dari Rp. 1.000,- hingga Rp. 15.000,-  per buah atau bungkus sangat cukup di dompet banyak warga. 

Persiapan berbuka puasa di halaman masjid
      Kebiasaan pengunjung juga beragam macam, mulai dari yang keluar dari kendaraan, masih menggunakan helm di kepala, menunggu pesanan diatas kendaraan, hingga warga menggunakan masker menjadi pemandang sendiri. Ada juga yang membeli sebatas dirinya, untuk keluarga, atau beli jumlah banyak untuk dibagikan ke warga sekitar. Seolah Ramadhan tahun ini masih seperti biasanya.
      Aktifitas berjualan berbuka puasa memang menghasilkan banyak keuntungan bagi penjual. Dengan rata-rata harga dagangan sekitar Rp. 1.000,- hingga Rp. 15.000,-  dikali jumlah pembeli yang banyak bisa dihitung pendapatan dan keuntungan yang didapatkan. Bisa menambah uang saku untuk THR yang dibagi ke sanak famili serta membeli perlengkapan lebaran. Mulai dari pakaian dan aksesoris lainnya.
      Belum ada riset atau publikasi yang mengatakan pengaruh pandemi ini dengan penghasilan yang didapatkan dari penjual musiman ini. Namun sepanjang penglihatan subjektif penulis, tidak ada pengaruh berarti. Namun pembuktian ilmiah justru menjadi acuan yang pasti. Walau kita tidak perlu memperdebatkan secara rinci penghasilan para penjual ta’jil.
      Berjamurnya penjual ta’jil menjadi berkah bagi mereka. Di tengah pandemi, mereka berjualan untuk menyambung hidup dan menambah jajan keluarga. Walau Ramadhan telah berakhir, namun diri dan hati berharap semoga dipertemukan kembali di Ramadhan berikutnya. Walau badai pandemi menerjang, semangat hidup bertahan untuk terus berjualan. Itu bentuk jihad mereka menafkahi diri dan keluarga. 

Comments